Apa saja hal-hal yang dapat mengamankan demokrasi?

Tulisan ini dibuat pada hari ke-5 dimana “work from home” dijalankan untuk mencegah penyebaran coronavirus yang lebih luas di Indonesia. Sudah cukup lama saya tidak melanjutkan pembahasan karya dari Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt “How Democracies Die”. Kali ini, saya ingin mengembangkan apa yang ditulis oleh mereka di chapter 5 buku tersebut, yaitu pagar demokrasi.
Penulis memulai dengan menjelaskan bagaimana konstitusi AS dan lembaga2 politik di AS berhasil memagari demokrasi sehingga bisa berjalan secara baik di Amerika Serikat.
Sistem konstitusional AS dirancang untuk mencegah pemimpin mengonsentrasikan dan menyalahgunakan kekuasaan dengan berisi sistem pengawasan dan perimbangan yang kuat.
Contoh nyata adalah bagaimana Presiden Richard Nixon yang mengundurkan diri atas penyadapan ilegal terkait kasus Watergate di tahun 1972 sebelum dimakzulkan dan mungkin yang baru saja kita lihat pada usaha senat (khususnya Partai Demokrat) yang mengusahakan pemakzulan Presiden Donald Trump, yang walaupun akhirnya gagal di level kongres.
Sistem konstitusi AS kemudian digunakan sebagai “role model” oleh berbagai negara seperti misalnya Argentina dan Filipina. Namun yang terjadi adalah di negara2 tsb krisis demokrasi selalu terjadi dan kekuasaan sering kali digunakan secara tidak bertanggung jawab oleh pemimpinnya. Jadi, apa masalahnya dari lembaga2 politik dan konstitusi yang kuat tersebut?
Lembaga2 politik dan konstitusi ternyata tidaklah kunci yang mutlak dalam mengamankan demokrasi. Contoh yang paling baik untuk menggambarkannya adalah bagaimana Presiden Ferdinand Marcos yang secara mudah menghapus ketentuan batas jabatan Presiden selama dua periode, setelah mengumumkan berlakunya hukum perang pada tahun 1972. Ataupun yang terjadi di Jerman, dimana “Rechtsstaat” (negara hukum) sebagai konsep yang dianggap matang sebagai benteng pemerintahan Jerman dihancurkan oleh Adolf Hitler pada 1933.
Tentunya, dengan kondisi politik dan kehidupan bermasyarakat yang berbeda di setiap negara juga mengambil peran dalam menentukan gagalnya konstitusi dan lembaga politik menjaga implementasi praktik demokrasi secara utuh.
Apa kelemahan dari konstitusi? Konstitusi dikatakan penuh kesenjangan dan ambiguitas. Sedetail apapun konstitusi tersebut dirancang, dapat dipahami dengan penafsiran yang berbeda dan terkadang dimaknai sesuai dengan kepentingan kelompok politik tertentu. Salah satu contohnya adalah ketentuan yang mengatur syarat pemakzulan Presiden misalnya “kejahatan dan perilaku keliru” dimana penuh atas penafsiran yang bermacam-macam dan bisa digunakan dengan cara-cara yang tidak terperkirakan oleh lawan politiknya.
Penuh penafsiran secara berbeda dan digunakan sesuai dengan kepentingan para pemimpin politik ataupun kelompok oposisi yang digunakan untuk menyerang penguasa kemudian membuat demokrasi menjadi tidak stabil dan tak lagi menjadi pagar demokrasi yang mumpuni.
Lalu faktor lain apa yang dapat membantu menjaga demokrasi? Ya, norma demokrasi yang kuat di masyarakat . Demokrasi tentunya secara umum dipahami diatur dengan aturan tertulis (konstitusi) dan wasit (pengadilan), namun aturan tidak tertulis seperti norma atau perilaku yang dijalankan dalam kehidupan bermasyakat adalah penopang yang signifikan dalam menegakkan demokrasi.
Demokrasi tidak hanya dijalankan oleh pemimpin politik, atau kalangan elit politik papan atas, namun juga perlu mengakar dalam masyarakat dalam tingkat kehidupan manapun. Norma-norma itu antara lain adalah saling toleransi dan sikap menahan diri secara kelembagaan.
Di Amerika Serikat, partai politik bisa saling berseteru, membela kepentingan politik dan posisi individu atau kelompok secara kuat namun akhirnya menerima apabila lawan politik mereka mendapatkan keabsahan dan penerimaan yang legal dan konstitusional dari mayoritas masyarakat.
Contoh paling nyata yang dapat kita lihat di situasi politik Indonesia adalah bagaimana Prabowo Subianto, penantang kekuasaan Presiden Joko Widodo yang akhirnya menerima kekalahan dalam pemilihan Presiden tahun lalu. Pemilu yang penuh isu akan adanya kecurangan yang dikatakan terstruktur, sistematis dan masif, dimana kelompok penantang waktu itu bahkan berani melabel hasil pemilu sebagai hasil yang bersifat inkonstitusional.
Sikap Prabowo Subianto yang toleran atas hasil pemilihan umum lah yang kemudian mematangkan demokrasi Indonesia dan menjadi pelajaran berharga bahwa demokrasi kita dapat terus jaga walaupun kepentingan politik utama gagal untuk dipenuhi.
Politik Indonesia memang penuh atas kompromi dan para pemain politik sering dilihat sebagai pribadi yang tanpa pendirian teguh dalam posisi atau pandangan politiknya. Inilah yang kemudian juga menjadi kesimpulan banyak masyarakat umum ketika melihat akhirnya Prabowo Subianto masuk kedalam jajaran pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pertahanan. Banyak pendukungnya yang kecewa dan sulit untuk menerima untuk keputusan Prabowo tersebut, namun sekali lagi saya sampaikan bahwa Prabowo telah memberikan pembelajaran demokrasi dan berpolitik yang berharga bagi negeri ini dan bagi masyarakat Indonesia yang masih belajar dalam menjalankan demokrasi yang tepat bagi kondisi sosial politik negara ini.
Banyak juga yang memberikan kritik bahwa “opposition is a must” untuk demokrasi yang sehat. Ini bisa diperdebatkan, kondisi “sehat” seperti apa yang mereka maksud. Apakah misalnya program kebijakan pemerintah yang strategis namun sulit untuk dijalankan karena penolakan politik di parlemen pada akhirnya baik bagi kepentingan masyarakat? Apakah itu yang dimaksud sehat? Ini perlu didiskusikan.
Norma yang kemudian menjadi penting sebagai pagar demokrasi adalah “institutional forbearance” atau menahan diri secara kelembagaan. Jika bisa dirujukkan kepada kondisi politik Indonesia saat ini adalah bagaimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai berkuasa dapat menjaga nilai-nilai demokrasi dengan misalnya tidak mengajukan perubahan konstitusi terkait masa jabatan Presiden Indonesia selama dua periode. Terdapat rumor beberapa waktu lalu, bahwa partai politik dan koalisinya yang menguasai parlemen tersebut ingin mengajukan untuk memperpanjang kekuasaan kepala negara dan pemerintahan, intinya memperpanjang kekuasaan.
Ini tentunya tidak hanya akan menimbulkan kegentingan politik dikalangan elit namun juga di masyarakat. Lawan dari menahan diri adalah menggunakan hak istimewa politik tanpa batas, atau yang disebut juga sebagai “main kasar konstitusional”. Contohnya terjadi di Venezuela, dimana Presiden autokrat Nicolas Maduro menggunakan kekuasaan dan koneksi yang kuat di Mahkamah Agung untuk melumpuhkan badan legislative yang dikuasai oleh partai-partai oposisi yang sebelumnya menolak dengan keras kebijakan-kebijakan strategis yang diambil oleh Maduro.
Main kasar konstitusional pada akhirnya nanti akan menghasilkan polarisasi di masyarakat yang kemudian akan pada rusaknya demokrasi. Mengangkat perbedaan rasial, sosial, ekonomi yang membuat masyarakat terbagi-bagi kedalam kubu-kubu politik yang bersaing secara kasar dan inkonstitusional. Ini lumrah terjadi pada negara-negara demokratis, termasuk Indonesia. “Political discord” adalah hal yang wajar, namun, sekali lagi norma-norma toleransi dan menahan diri dalam kehidupan berdemokrasi menjadi penyokong kuat selain dari pada sistem konstitusi dan lembaga-lembaga politik.
Memang, tidak ada negara dengan sistem demokrasi yang sempurna, masing-masing memiliki kelemahan dan kondisi yang membuat penyesuaian akan implementasi nilai2 demokrasi perlu dilakukan oleh setiap negara.
Jika saya bisa mengaitkan ini dengan bagaimana komitmen dan usaha pemerintah dalam memperkuat nilai-nilai Pancasila di masyarakat, alangkah baiknya tidak hanya bertumpu pada pembuatan institusi yang sifatnya politis seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ataupun kampanye sosial yang menurut hemat saya bersifat sementara. Perlu kiranya penelitian yang mendalam bagaimana praktik2 nilai Pancasila yang sifatnya tidak tertulis disetiap lini kehidupan masyarakat.
Penelitian yang melihat bagaimana praktik kehidupan beragama di setiap daerah, apa saja yang menghambat toleransi timbul dalam kehidupan beragama di masyarakat. Perbedaan sosial antar masyarakat memang bisa menjadi tantangan khusus untuk menegakkan Pancasila. Namun, beberapa inisiatif penelitian bisa dijalankan, antara lain bagaimana misalnya penyaluran aspirasi masyarakat kepada pemimpin daerah mereka, bagaimana juga pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat, adakah hal-hal yang bersifat distortif dalam kehidupan masyarakat (contoh: intoleransi, hak asasi manusia yang direnggut, pembagian social protection yang tidak adil). Hal ini kiranya perlu didalami guna menerapkan nilai-nilai Pancasila bukan hanya di atas kertas tapi juga tumbuh dalam pikiran dan hati masyarakat Indonesia secara umum.
Akhirnya, stay safe and healthy all!