Noto Suoneto
4 min readAug 26, 2019

--

Pic: How Democracies Day Book from Amazon. Com

Demokrasi saat ini, apakah dalam bahaya? ( Membahas“How Democracies Die”- Steven Levitsky & Daniel Ziblatt)

Beberapa waktu ini, saya memiliki perasaan penasaran yang sangat tinggi terhadap apa yang terjadi di negara-negara demokrasi di dunia. Kita bisa melihat apa yang terjadi di Hong Kong, Amerika Serikat, Perancis, Malaysia dan sebagainya. Indonesia? tentu saja, terlebih kita baru saja mengadakan pesta politik terbesar di negeri ini, pemilihan umum yang menjadikan Presiden Joko Widodo terpilih kembali menjadi orang no.1 di negeri ini. Melalui pertarungan politik dimana masyarakat terpolarisasi.

Hal yang menjadi pertanyaan besar saya adalah sebenarnya apa sistem demokrasi yang dicita-citakan oleh negeri ini? kita selalu mengklaim bahwa kita dalam proses mencapai demokrasi yang matang. Namun, apabila berkaca kepada negara-negara demokrasi besar lainnya di dunia, mereka saat ini sedang mengalami masalah krusial, bahkan beberapa berada dalam ambang kehancuran.

Oleh karena itu, untuk setidaknya menambah wawasan sekaligus menjawab rasa penasaran ini, saya memutuskan membaca karya Prof. Steven Levitsky dan Prof. Daniel Ziblatt, “How Democracies Die”, dimana mengangkat apa yang bisa kita pelajari dari sejarah dan bagaimana kita menyikapi tantangan demokrasi di masa depan.

Tulisan ini hanya pengantar, dan mencoba membahas apa yang ditulis oleh kedua profesor tersebut dan kemudian mengaitkan apa yang terjadi di negeri kita sendiri. Ketika anda membacanya, tentu akan melihat bagaimana argumen kedua profesor tersebut akan digabungkan oleh penilaian pribadi saya sendiri, yang tentunya sangat amatir dan tidak terlibat dalam ranah politik manapun.

Hal pertama yang saya dapatkan dan dirasa penting adalah mencoba membahas bagaimana demokrasi menghadapi ancaman di banyak negara, dimana pemerintahan populis dan kekuatan ekstremis mendapatkan kekuasaan. Demokrasi saat ini bukan lagi dihancurkan dengan kekuatan militer yang melakukan kudeta, tapi bahkan dilakukan oleh pemimpin terpilih yang dilaksanakan melalui sistem yang demokratis. Pemimpin tersebut menghancurkan sendi dan pilar demokrasi secara perlahan dan sistematis baik melalui institusi ataupun sistem. Ada yang melakukannya secara terbuka dan dengan mudah diidentifikasi ataupun ada juga yang bersifat kasat mata.

Prof. Steven dan Prof. Daniel mencontohkan bagaimana pemimpin Venezuela, Hugo Chavez merupakan pemimpin yang dulunya dipilih secara demokratis. Hugo pada saat itu merupakan sebuah pilihan terbaik dimana menawarkan perubahan kepada rakyat Venezuela, menentang berlangsungnya pemeintah korup dan berambisi kuat untuk mengentaskan kemiskinan. Ya, sebuah hal yang normal disampaikan oleh calon pemimpin.. dimanapun, termasuk di negeri ini.

Namun, dikarenakan bendungan perwalanan opisisi yang demikian kuat, Hugo Chavez mulai melaksanakan kebijakan represif, dimana pada 2004, mulai membuat daftar hitam berisi lawan politiknya yang kemudian diisolasi, menutup saluran televisi, serta menghilangkan batas masa jabatan presiden. Ya, memang kita saat ini juga melihat bagaimana Venezuela, negara demokrasi yang kemudian berubah menjadi otokrasi menjadi hancur dan berada dalam krisis politik dan ekonomi. Hal ini lah yang membuat mengapa mempelajari gejala-gejala negara demokrasi yang hancur merupakan sebuah hal yang sangat penting. Perlu digarisbahawi, sangat penting. Indonesia, bukan tidak mungkin mengalami hal yang sama, dan kita bisa merefleksikan apa yang terjadi tahun 1998 lalu. Tentunya, saat ini semua berada dalam kondisi yang berbeda, baik situasi poiitik dan kemampuan ekonomi domestic maupun global.

Prof. Steven menyampaikan juga bahwa saat ini banyak pemerintah berupaya membajak demokrasi secara legal, dalam arti disetujui oleh badan pemerintah lainnya, baik legislatif maupun yudikatif. Cara-cara ini dibungkus dengan nama atau tujuan untuk memperbaiki demokrasi, mengefesiensikan kebijakan pemerintah dan mengefektifkan pemilu dan sebagainya. Terkadang juga dilakukan demi menciptakan keamanan dan ketertiban bersama. Hmm, terdengar tidak asing..

Kedua professor tersebut juga mempunyai indikator dimana menjelaskan pola-pola dimana pemimpin otoriter muncul menjadi penguasa dan bagaimana demokrasi secara perlahan-lahan hancur akibat pilihan negara itu sendiri. Kita tidak bisa memungkiri bahwa contohnya terdapat demagog (provokator) yang berperan dalam hal ini. Demagog selalu ada di semua negara, di semua sistem pemerintahan dan juga bahkan di demokrasi yang matang atau sehat sekalipun. Di Amerika Serikat, terdapat Henry Ford atau Joseph McCarthy. Di Indonesia, ya kalian tentu bisa sebutkan, bagi saya saat ini salah satu pemimpin parlemen kita saat ini dan kepala suatu organisasi ektremis merupakan salah duanya.

Menurut Prof. Steven dan Prof. Daniel, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana suatu negara bisa mencegah tokoh-tokoh tsb muncul di arus politik negara, namun bagaimana mencegah mereka untuk bisa terlibat dalam kekuasaan, menjauhkan mereka dari arus pengambilan keputusan strategis yang berdampak signifikan bagi negara. Ketika misalnya partai politik salah mengambil langkah atau melakukan perhitungan dengan membiarkan atau bahkan membantu mereka masuk dalam pusaran pengambil kebijakan, maka demokrasi berada dalam bahaya.

Pendapat ini dicontohkan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, dimana partai republik telah membantu seorang demagog ekstremis seperti Donald Trump mendapatkan pencalonan Presiden dan bahkan kemudian terpilih menjadi pemimpin negara adidaya tersebut. Memang terlalu cepat untuk membuat sebuah asumsi bahwa Donald Trump akan menjadi pemimpin otoriter, namun melihat dari hal ini, apakah kedua profesor tersebut mengatakan bahwa Donald Trump akan membawa AS menjadi negara demokrasi yang hancur??? Mari kita baca dan pelajari di bab-bab selanjutnya.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia, apakah terdapat demagog yang saat ini memiliki peran sangat penting dalam pengambilan kebijakan negara? Ingat, apa yang saya angkat di paragraf2 awal, sebaiknya kita tidak hanya melihat di permukaan dalam menilai tokoh politik. (Di pikiran kalian pasti berasumsi , si duo F dan HR yang menjadi sasaran utama), Saya memiliki asumsi atau mungkin “kecurigaan”, pemimpin yang dipilih secara demokrasi bisa jadi, sekali lagi bisa jadi memliki bibit untuk menjadi pemimpin otoriter dan merusak demokrasi.

Menurut kalian, bagaimana keadaan demokrasi Indonesia saat ini? Adakah hal menarik dari politik Indonesia saat ini yang kalian lihat sebagai tanda-tanda kemunduran bahkan kehancuran demokrasi di negeri ini?

Bagian selanjutnya, saya akan mengangkat bagaimana kedua profesor menilai bahwa polarisasi merupakan suatu aspek pendukung kehancuran negara demokratis dan apa saja indikator kunci perilaku pemimipin otoriter yang tentunya sangat berguna bagi kita untuk menilai pemimpin kita saat ini.

--

--